Seram Ga Sih JPMorgan Sebut Minyak Bisa ke US 150barel
Jakarta, CNBC Indonesia - Melonjaknya harga batu bara akhir-akhir ini diramal bisa menjadi pertanda awal bagi lonjakan harga komoditas minyak. Selain itu, ahli strategi pasar juga menjelaskan soal dampak kenaikan minyak terhadap ekonomi dan pasar saham.
"Kami percaya evolusi harga batu bara mungkin mencerminkan pasokan, permintaan, biaya modal, dan masalah transisi energi untuk semua bahan bakar fosil, dan tentu saja mungkin harga minyak akan mengikuti pola yang sama (inflasi yang disesuaikan untuk minyak, yang akan berada di kisaran $150-200/bbl)," tulis tim ahli strategi JPMorgan Chase & Co. yang dipimpin oleh Marko Kolanovic kepada Fox Business, dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (9/10/2021).
Saat ini, harga minyak diperdagangkan pada level tertingginya dalam tujuh tahun, sedangkan komoditas energi lain, seperti batu bara, LNG, listrik gas alam, dan uranium, bertahan pada atau mendekati level tertinggi sepanjang masa.
Menurut Kolanovic, isu yang hangat di pasar energi saat ini adalah kombinasi dari "greenflation"--atau pergeseran ke energi bersih--masalah rantai pasokan akibat pandemi dan ketegangan geopolitik dengan OPEC+, Rusia dan Iran.
Semua sentimen tersebut turut mendorong minyak mentah light sweet hingga ke harga sekarang.
Menurut Refinitiv, harga minyak jenis brent pada Jumat (8/10/2021) berada di posisi US$ 82,39/barel, melesat 14,93% dalam sebulan, dan melambung 59,05% sepanjang tahun. Sementara, harga minyak jenis light sweet melejit 16,09% dalam sebulan dan 'terbang' 63,54% sejak akhir 2020 (year to date/ytd).
Contoh lainnya, harga batu bara di pasar ICE Newcastle Australia sempat menyentuh level tertinggi sejak 2008 di US$ 280/ton pada Selasa (9/10). Setelah kemudian ambles dalam 2 hari, pada perdagangan Jumat harga batu bara naik tipis 0,38% ke posisi US$ 225,75/ton.
Lalu, bagaimana dampak kenaikan harga minyak terhadap Ekonomi dan Pasar Saham?
Namun, kenaikan harga komoditas energi saat ini tidak akan "memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian," jelas JPMorgan Chase & Co, sembari mencatat bahwa ekonomi dan data konsumen "berfungsi dengan baik" ketika harga minyak berada di rata-rata US$ 100 per barel pada 2010 hingga 2015.
Bahkan, JPMorgan Chase memprediksi, harga minyak bumi bisa mencapai US$ 130 hingga US$ 150 per barel tanpa menyebabkan gangguan ekonomi yang berarti.
Dengan kata lain, pasar dan ekonomi dapat bertahan dengan tingkat dan harga minyak yang jauh lebih tinggi.
Memang, sudah sejak lama harga minyak dikatakan mampu berdampak langsung atau tidak langsung dan negatif terhadap ekonomi Amerika Serikat (AS) dan pasar saham. Namun, catatan saja, sejumlah ahli ekonomi juga yang mengatakan, hal tersebut tidak selalu demikian, lantaran korelasi antara harga minyak dan pasar saham tergolong kecil.
JPMorgan Chase juga meramal, imbal hasil (yield) US Treasury tenor 10 tahun akan mencapai 2,5% atau 3%, naik 100-150 basis poin dari level saat ini--sebelum yield yang tinggi akan menjadi masalah ekonomi.
"Kami tidak mengharapkan adanya aksi jual di pasar secara luas kecuali imbal hasil naik di atas 250-300 bps (US Treasury 10 tahun AS), yang tidak kami perkirakan dalam waktu dekat," kata Kolanovic.
Lebih lanjut, indeks saham AS, S&P 500, baru-baru ini mengalami koreksi 5% pertama dalam setahun.
Kolanovic, salah satu penganut pasar bullish terbesar, mengatakan aksi jual besar-besaran (sell-off) tersebut memberi investor kesempatan untuk beralih ke saham yang sensitif terhadap ekonomi atau saham sektor siklikal.
Dengan kata lain, Kolanovic menyarankan, beli saat harga turun (buy the dip).
Secara sederhana, saham sektor siklikal adalah saham yang bisnis dasarnya secara umum mengikuti siklus ekspansi dan resesi ekonomi, seperti industri perhotelan, ritel, restoran, perbankan, serta manufaktur.
Hal ini mengingat, jelas Kolanovic, pemulihan siklus ekonomi dapat berlangsung setidaknya tiga hingga empat bulan ke depan, tetapi bisa juga lebih lama. Tentu, tidak kalah pentingnya juga soal bagaimana pemerintah menangani pandemi Covid-19.
"Kami percaya bahwa [Covid-19 varian delta] ini adalah gelombang signifikan terakhir, dan akhir yang efektif dari pandemi," tulis Kolanovic dalam catatan baru-baru ini kepada klien. "Jumlah perawatan kasus Covid-19 baru juga mendukung pandangan ini," imbuhnya.
Saham AS mengalami aksi sell-off seiring Bank Sentral AS ata Federal Reserve (The Fed) bersiap untuk memotong dukungan moneter daruratnya alias tapering dan di tengah harga energi melonjak. Kebuntuan pembicaraan soal plafon utang AS dan kekhawatiran yang berkepanjangan tentang pasar real estat China ikut menambah kegelisahan investor.
Terbaru, pada perdagangan Jumat (8/10) waktu AS, Indeks Dow Jones turun 8,69 poin menjadi 34.746,25. S&P 500 melemah sekitar 0,2% menjadi 4.391,34. Sementara, indeks sarat saham teknologi Nasdaq Composite tergerus 0,5% menjadi 14.579,54.
Merosotnya bursa saham AS terjadi di tengah data lapangan kerja per September yang kurang memuaskan. Selain itu, investor tampaknya masih memperkirakan Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) akan mulai mengurangi pembelian aset alias tapering off pada tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(adf/adf)
0 Response to "Seram Ga Sih JPMorgan Sebut Minyak Bisa ke US 150barel"
Post a Comment