Epidemiolog Masdalina Pane Perhatikan Aturan Jangan Melulu Salahkan Rakyat
Suara.com - Seiring upaya pengendalian pandemi Covid-19 dengan fase kebijakan PPKM Darurat yang masih berjalan, berbagai kritik pun terus bermunculan, utamanya terkait kebijakan dan langkah penanganan yang dijalankan pemerintah. Termasuk di antaranya dari kalangan epidemiolog atau ahli epidemiologi, antara lain seperti yang beberapa kali disuarakan oleh Masdalina Pane.
Di berbagai forum, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) ini menyampaikan kritikan sekaligus masukan terutama kepada pemerintah dan Satgas Covid-19 tentang beberapa aspek yang keliru atau terabaikan dalam upaya pengendalian. Selain menegaskan bahwa yang paling mendasar adalah pemerintah harusnya jangan sampai salah dalam membuat aturan atau kebijakan di atas kertas, Masdalina Pane juga mengkritisi kecenderungan menyalahkan masyarakat yang tidak disiplin sebagai penyebab masih melonjaknya angka kasus Covid.
Beberapa waktu lalu, peraih gelar doktor atau PhD di bidang Epidemiologi dari Universitas Indonesia, pun sempat memberikan pemaparan sekaligus berbincang dalam sebuah diskusi online (FGD) yang diselenggarakan oleh Suara.com. Berikut petikan perbincangannya yang disajikan ulang dalam format wawancara (tanya-jawab):
Apa sih yang kita lakukan selama berbulan-bulan ini (terkait penanganan Covid-19), sudah 16 bulan sampai hari ini? (Sekadar) Pembatasan pergerakan dan pengendalian pandemi?
Baca Juga: Wawancara Devi Pandjaitan: Daripada Kritik, Ayo Buat Sesuatu Untuk Negara!
Kalau kita lihat historinya, sejak awal pandemi sebenarnya kita sudah melakukan pembatasan pergerakan itu banyak sekali ya, dan ini yang formil. Yang formil artinya ada regulasinya, ada surat keputusannya.
Tapi di sela-sela ini, ada banyak sekali istilah-istilah yang kalau kita identifikasi di Indonesia, dimulai dari... bisa jadi satu kamus sendiri tentang pembatasan di Indonesia.
Dimulai dari minggu ke-15. Minggu ke-15 tahun 2020 itu ada PSBB. PSBB ini dilakukan masing-masing kabupaten/kota dan di provinsi ada satu yaitu DKI Jakarta. Itu dimulai kalau tidak salah di bulan bulan April sampai dengan Mei secara bertahap, dan kita untuk Jabodetabek cukup lama kita ikut dalam PSBB ini.
Artinya, setidaknya ada 6 sampai 8 minggu kita kemudian harus diam di rumah, tidak sama sekali ke mana-mana dan suasananya lengang sekali. Tidak seperti sekarang begitu ya. Dan pertanyaannya, apakah itu kemudian mampu menurunkan kasus? Enggak. Kasus itu terus meningkat, tapi perlahan-lahan.
Sebenarnya pengendalian itu bukan begini tekniknya. Artinya begini, saya cuma katakan bahwa 8 setengah bulan pertama pengendalian, itu sama sekali tidak ada pengendalian sebenarnya, begitu (sambil kemudian memperlihatkan presentasinya --Red).
Baca Juga: Wasis Setya Wardhana: 'Jogo Tonggo' Berbasis Data, Cara Desa Kami Hadapi Covid-19
Nah, yang di yang merah-merah (di layar), ini adalah libur panjang yang diduga meningkatkan jumlah kasus, yang merah-merah ini. Setelah hari raya, apakah kasusnya (melandai)? Nggak, kasusnya turun. Kasusnya turun sebentar, tapi kemudian naik lagi, tapi naiknya pelan-pelan saja, itu ya.
Sampai kemudian terus meningkat, dan DKI Jakarta meminta "rem darurat". Itu di minggu ke-37, sekitar bulan September. Itu PSBB 2 yang dilakukan hanya di dua wilayah saja, yaitu DKI Jakarta dan Banten (yang) pada saat itu meminta PSBB kedua. Apakah kemudian ini turun? Ada turun sedikit, dua minggu setelahnya turun. Semua orang happy.
Padahal sebenarnya tidak begini yang disebut pengendalian.
Terus angkanya begini saja (memperlihatkan grafiknya --Red). Ada turun di sini, saya sudah agak senang, tapi kemudian naik lagi. Nah di bulan November-Oktober akhir, baru kemudian Satgas itu ingat, kalau ada yang namanya epidemiologi. Saya diajak, tiga orang kami dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia untuk membantu di Satgas, itu akhir Oktober.
Tapi sebenarnya mengajaknya juga saya kira tidak sungguh-sungguh itu ngajaknya, jadi setengah hati saja. Kenapa? Karena ada uang 400 miliar pada saat itu, dan bulan itu sudah November sehingga harus dihabiskan uang itu di Satgas.
Terus "diamprokin" tuh uang 400 miliar pada kami bertiga nih, silakan mau bikin apa. Lah, ya kaget kita, bikin apa ya? Ya sudah, karena saya berada di sub-bidang tracing, kami membuat program yang namanya Tracing.
Tracing itu dilakukan selama empat setengah bulan, dimulai bulan November pertengahan dan selesai bulan Maret akhir 2021. Siapa targetnya? Targetnya adalah 59 kabupaten/kota di 13 provinsi yang menyumbang 70% kasus di Indonesia.
Pada saat itu teman-teman bertanya, "Kita mulai di sini, di angka 33 ribu?" Terus saya katakan, kita akan mencoba mencari kasus sebanyak-banyaknya, dan ini sangat bertentangan dengan misinya Satgas. Saya bilang, ya nggak apa-apa lah. Misi Satgas adalah menekan kasus sekecil-kecilnya, sementara kami para epidemiologi mencari kasus sebanyak-banyaknya.
Loh, kenapa kita cari kasus sebanyak-banyaknya? Karena capacity to detect atau kemampuan untuk mendeteksi itu dimulai dari mendapatkan kasus yang banyak dalam kondisi yang ringan atau tanpa gejala, sehingga prognosisnya menjadi lebih baik.
Pada saat itu teman-teman mengatakan, berapa lama kita akan mencapai puncak? Puncak itu bagi epidemiologi menjadi hal penting. Karena apa? Dia akan mengukur penurunannya itu menjadi lebih sistematis.
Saya katakan, the world scenario atau reproductive number itu antara 2 sampai 4. Kalau kita mulai dari 30.000, maka world scenario, yang skenario terburuk adalah kita puncaknya di 120.000 (kasus). Tapi dengan isolasi dan karantina melalui program tracing, maka kita berharap bahwa kasus tidak sampai 120.000, dan ternyata puncaknya memang terjadi di bulan Januari (2021).
Bulan Januari akhir, puncaknya itu sebesar 88.800 atau sekitar 2,9 dari awal kita melakukan tracing, antara 2,9. Tapi setelah itu terjadi penurunan yang sangat signifikan. Penurunannya ini bervariasi di 13 provinsi, tapi overall di Indonesia itu menurun sebanyak 10 minggu (overall) di Indonesia.
Pengendalian itu kriteria standar atau kriteria yang paling gampang, itu adalah penurunan setengah dari puncak tertinggi selama 3 minggu berturut-turut dan terus turun sampai ke tingkat terendah. Jadi ini kita capai di minggu ke-9 (sejak program).
Nah, terus turun, tapi begitu kita sudah turun, sudah cukup baik, angkanya waktu itu di 2.900 sampai 3 ribuan, tiba-tiba program ini harus dihentikan, karena akan diambil alih oleh Kementerian Kesehatan. Ya, nggak masalah, bagi kami yang penting itu terus dilanjutkan.
Karena menurut mereka, tracer kita itu sedikit sekali jumlahnya, hanya 8 ribuan, sementara negara ini membutuhkan 80.000 tracer. Akhirnya diambil-lah tracer itu dari Babinsa dan Babinkamtibmas.
Saya juga ikut melatih Babinsa dan Babinkamtibmas, dan saya sudah sampaikan dengan Pak Menkes, saya katakan, "Nggak bisa deh Pak, Babinsa Babinkamtibmas." Mengapa? Karena mereka punya pekerjaan lain, sementara tracer kita yang kemarin itu pekerjaannya memang full time, mereka melakukan tracing.
Dan setelah itu, maka kasus mulai naik kembali pelan-pelan. Ada penurunan ini pada saat hari raya Idul Fitri. Saya sudah katakan berkali-kali, ngukurnya jangan di hari raya ini, di minggu hari raya. Karena pada minggu hari raya, dari 7 hari ada 4 hari libur, 3 hari liburnya ditambah satu hari Minggu.
Jadi semuanya turun, testing turun, kemudian kasus turun, yang dirawat turun. Nah (tapi) kemudian angka ini menjadi meningkat lagi.
Pada minggu ke-23 saya sedikit kaget, karena angka ini tidak normal. Ketidaknormalan di angka ini, itu bagi epidemiologi itu sinyalnya langsung keluar nih, di dua minggu ini.
Ilustrasi. Sejumlah tenaga kesehatan yang bertugas melakukan perawatan terhadap pasien di Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. [Suara.com/Angga Budhiyanto]Pertama, dia sudah melebihi dari puncak tertinggi dari tracing kita yang lalu. Ini saya sudah berteriak, saya katakan, ini kalau kita tidak kendalikan ini akan meningkatnya eksponensial. Tapi bukan karena mudik, karena orang masih saja bicara tentang akibat mudik sehingga (dinilai) meningkatkan jumlah kasus.
Kadang-kadang jadinya pemerintah itu kontroversi. Satu sisi mengatakan larangan mudik berhasil, tapi satu sisi mengatakan (terjadi) peningkatan kasus karena mudik. Jadi sebenarnya yang benar yang mana, gitu. (Larangan) Mudik berhasil, atau mudik tidak berhasil? Jadi kita nggak usah bahas itu lagi.
Tetapi dalam pandangan saya sebagai epidemiologi, peningkatan kasus ini benar-benar tidak normal itu eksponensial.
Sementara hari ke hari, Pak Menkes selalu menceritakan tentang banyaknya mutasi baru yang masuk ke Indonesia. Saya sebenarnya merasa sedih juga. Itu bukan 'prestasi' sebenarnya. Ketika kita mengatakan ada mutasi baru masuk ke Indoensia, maka itu sebenarnya kegagalan kita dalam melakukan cegah tangkal.
Cegah tangkal itu dilakukan di pintu-pintu masuk, dan itu ada prosedurnya untuk melakukan cegah tangkal. Tetapi kalau kita tidak mampu melakukan pencegahan terhadap mereka-mereka yang masuk Indonesia, maka menurut saya itu bukanlah hal yang baik.
Karena itu saya katakan, apakah kemudian program pembatasan mobilitas ini cukup efektif? Enggak. Kalau untuk sementara mungkin iya, untuk meredam orang yang bermobilitas sangat tinggi sehingga dia bisa menularkan. Tetapi kalau program utama pengendaliannya yang tidak dilakukan, yaitu tracing, ya ini tidak akan pernah selesai.
Peningkatan kasus eksponensial ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah kematian, walaupun rate-nya (saat itu) kelihatannya biasa saja (sambil memperlihatkan lagi presentasi di layar --Red).
Jadi ini adalah yang dikatakan tadi, ini adalah pembatasnya, batas terkendali. Batas terkendali ini kami taruh di 20 per 100 ribu penduduk, atau masuk di transmisi level 1, yang paling transmisi lokal yang paling awal. Jadi yang paling bagus gitu lah ya, bagus, walau transmisi lokal tapi bagus, yang kemudian kita harus menuju ke cluster.
Nah, eksponensial ini, kalau ini sangat tinggi, maka tidak akan mungkin ini disebabkan oleh karena mobilitas yang biasa. Karena (pembatasan) mobilitas kita lakukan mulai dari awal sampai sini, tapi kemudian ini meningkat jauh. Maka ini yang kita cari penyebabnya. Memang ternyata peningkatan ini juga terjadi tidak banyak di daerah-daerah seluruh Indonesia, tapi hanya di beberapa wilayah saja, terutama didominasi oleh Jawa dan Bali.
Ini yang menurut pandangan kami yang lebih banyak memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus. (Soal virusnya) Dari 6 variant of concern, ada 4 yang masuk ke Indonesia. Lainnya ini belum menjadi varian of interest, belum menjadi concern internasional. Tetapi dari empat itu, yang masuk yang paling dominan adalah Delta. Delta ini agak antik, tapi kita hari ini tidak membahas Delta sebenarnya, tetapi penyebarannya sangat cepat sekali.
Walaupun begitu, teknik pengendalian (terhadap) apa pun mutasinya, apa pun varian barunya, teknik pengendalian sama sebenarnya, bapak-ibu sekalian. Jadi tetap saja 3M dilakukan oleh masyarakat dan 3T dilakukan pemerintah. Persoalan kita adalah 3T kita sangat-sangat buruk.
Sebenarnya transmisi itu tidak berjalan begitu saja tiba-tiba ada di grassroot. Kalau kita lihat, transmisi itu keluar-masuknya itu selalu dimulai dari pelaku perjalanan luar negeri. Karena itu kita harus concern di sini, harus ketat di sini. Jadi ketika dia pertama masuk, sebenarnya tujuan utama kita (harusnya) mencegah masuknya kasus baru atau mencegah masuknya varian baru di pelaku perjalanan.
Indikatornya apa? Indikatornya yang pertama, tidak ada kasus baru. Tetapi kita juga harus waspada. Di awal-awal kita merasa itu tidak punya (kasus), sampai dengan bulan Maret. Sementara Thailand sudah punya, Singapura yang terdekat dengan kita sudah punya. Nah, kalau negara tetangga kita itu sudah punya, lalu kita nggak punya, mestinya kita (harus) khawatir sebenarnya.
Sama seperti sekarang, sinyal yang paling utama, yang di ada di masyarakat itu ketika WA group kita, sosial media kita, setiap hari bicara tentang berita duka, tentang terinfeksi ataupun kematian. Maka sinyal itu dekat dengan kita.
Begitu juga dengan hubungan antar-negara. Begitu Singapura mengatakan dia punya kasus, Filipina mengatakan punya, kasus Malaysia punya, kemudian Thailand --Thailand malah pertama kali-- maka kita jangan bangga kalau nggak punya (kasus). Kita harus berpikir keras, mengapa kita nggak punya.
Ternyata memang punya (terkait) tes. Tesnya kita tidak lakukan dengan baik. Padahal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah mencari sebanyak mungkin suspect untuk dilakukan tes. Kita tuh sebenarnya punya beberapa puluh sentinel untuk ILI dan SARI (istilah untuk Influenza Like Illness dan Severe Acute Respiratory Infection --Red).
ILI dan SARI itu adalah salah satu screen awal dari apa yang namanya dari Covid. Jadi kalau ILI dan SARI-nya itu (ada), bisa terdeteksi Covid dari suspect ILI dan SARI. Maka di situlah capacity itu bisa kita pertaruhkan.
Nah, kemudian dari pelaku perjalanan, kalau kita tidak mampu untuk tanggulangi, maka ada layer kedua. Layer keduanya itu karantina sebenarnya. Tapi karantinanya harus sesuai dengan imperium global. (Jika) Imperium global karantinanya masih 14 hari, kenapa kita longgarkan jadi 5 hari? Ya, masuk semua varian baru ke dalam.
Pada waktu awal terjadinya Covid, maka mereka yang kontak erak dengan pelaku perjalanan luar negeri. Pelaku perjalanan ini tentu orang yang bolak-balik, bukan yang pekerja migran saja. Pekerja migran hanya satu kali. Tapi ketika dia membawa Delta, seperti di Bangkalan, Kudus, maka dia akan mewarnai wilayah tersebut.
Waktu awal-awal, pelaku perjalanan luar negeri (itu) yang biasanya pengusaha, dekat dengan kepala daerah, politikus, elite. Itu di beberapa bulan pertama yang terkena itu orang-orang kaya yang punya kontak dengan pelaku perjalanan luar negeri, (lalu) ada gubernur, ada menteri, ada ke bupati, wali kota, pengusaha dan lain-lain.
Tapi kemudian mereka pun kontak dengan manajernya, maka terus saja ke bawah. Dan saat ini transmisi itu sudah ada di grassroot atau all population, yang mungkin pengendaliannya akan menjadi lebih rumit dan sulit, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Nah sekarang, paramater pelanggaran. Nah kalau hari ini kita melakukan pengetatan, maka bapak-ibu bisa melihat parameter pelanggaran ini ada dua, yang sudah direvisi oleh WHO. Yang terakhir itu Consideration for Implementing and Adjusting Public Health and Social Measures for Covid-19, yang 4 November 2020.
Lihat parameter pelonggarannya ini saja. Tapi yang utama parameter pelonggaran itu empat ini. Jika kasus konfirmasi kita turun setengah puncak tertinggi 3 minggu berturut-turut, dan terus turun sampai tingkat rendah, terus yang masuk rumah sakit kurang dari 15 persen x sehari, jumlah tes yang dilakukan itu bukan 1 per 1.000 penduduk sebenarnya, tapi seluruh suspect tambah 15 Ã kontak erat per hari.
Jadi kalau sekarang hitungannya, kalau kita dapat 50.000 kasus per hari, maka kontak erat saja yang harus dites itu sekitar 500.000. Itu baru 10 kontak erat. Kemudian kita suspect-nya sudah ke arah 200 ribu. Mestinya sudah bisa antara 700 ribu sampai 1 juta testing dilakukan per hari.
Faktanya, kita baru melakukan testing sekitar 200 sampai 300.000. Nah yang terakhir, kemarin katanya bisa sampai 400.000. Tapi 400.000 itu spesimen. Padahal testing yang di sini adalah testing orang, bukan follow up diagnostic ya, jadi bukan spesimen.
Terus (angka) kematian harus kita turunkan, mesti lebih rendah dari global. Kalau dalam kondisi darurat, sebenarnya kematiannya 1 per 10.000 penduduk. Dan sebenarnya itu (artinya) Covid itu enggak ganas-ganas amat, hanya 2 persen, jadi nggak terlalu bermasalah.
Nah, ini perhitungan kebutuhan fasilitas kesehatan (sebagaimana paparan di layarnya --Red). Mengapa? Karena kita tergagap-gagap di bagian ini.
Sebenarnya kalau kita tahu kasus konfirmasi itu, yang tanpa gejala itu banyak, 70-85%, kalau daya tahan tubuh masyarakat kita kuat, maka ini yang gejala ringan 70 persen. Masa kita tidak mampu untuk mengatasi yang 15 sampai 30% ini, sehingga mereka harus mengalami perburukan dan kematian di luar sarana layanan kesehatan? Nah ini yang menjadi PR pemerintah sebenarnya.
Bagaimana soal pengendalian dan (dampak) ekonomi ini, apakah ada hubungannya?
Menurut saya, nggak terlalu berhubungan banyak. Kalau pengetatan yang sekarang itu dilakukan hanya pada jalan-jalan lintas antar daerah, itu menjadi tidak efektif, karena transmisi itu terjadi domestik. Domestik itu di mana? Di sekitar kita, di RT, di kelurahan, kemudian juga di pasar-pasar yang tidak mengalami penyekatan. Itu yang menyebabkan PPKM Darurat ini menurut pandangan kami menjadi tidak efektif.
Jadi, apa yang diusulkan?
Jadi sebenarnya, PPKM Mikro itu bagus, asal sesuai dengan usulan kami. (Tapi) Ketika kami mengusulkan konsep-konsepnya, tiba-tiba keluarnya di KPC-PEN seperti ini, dibawa oleh tim pakar. Jadi konsep yang ini diambil, dicaplok, nggak nanya-nanya tiba-tiba jadi.
Itu menjengkelkan bagi kami para epidemiolog, dengan alasan bahwa alasan ekonomi. Kami katakan, nggak bisa kurang dari 10.000, lebih dari 10 rumah atau lebih dari 5 rumah, Anda katakan zona merah itu sangat berdampak pada ekonomi.
Kemudian itu tidak di-lockdown RT-nya, orang masih bisa keluar-masuk, hanya dibatasi (jam) 20.00. Anda kira kita bisa bernegosiasi dengan virus, bahwa mereka boleh menularkan setelah pukul 8 malam saja? Nggak begitu konsep lockdown secara mikro.
Bahkan di banyak negara orang masih bisa demonstrasi, walaupun kita mungkin jadi kacau-balau begini. Artinya sepanjang itu bisa diatur dan disiplin, maka itu menjadi lebih baik.
Jadi bisa disebut pemerintah gagal mencegah varian baru? Artinya, pembatasan yang dilakukan percuma, ketika pemerintah membuka selebar-lebarnya bagi WNA?
Iya, sebenarnya ada aturannya. Maksud saya begini, pemerintah itu tidak boleh salah dalam membuat aturan. Kalau pun di dalam implementasinya kemudian ada oknum, penyalahgunaan, maka law enforcement yang harus berlaku. Tetapi di atas kertas pemerintah tidak boleh salah aturan. Ketika di atas kertas pemerintah mengatakan "Oh, 5 hari saja (karantina)" secara gampang, epidemiolog akan menyalahkan itu. Anda salah, karena aturannya itu 14 hari karantina.
Ilustrasi. Seorang warga negara asing (WNA) berjalan di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (13/1/2021). [ANTARA FOTO/FAUZAN]Soal bagaimana karantinanya, itu ada tekniknya. Misalnya, kalau dia memiliki kemampuan finansial yang banyak, dia sebenarnya bisa dikarantina di hotel-hotel yang dia inginkan, atau di rumahnya yang memenuhi syarat. Tetapi harus bisa dipastikan kalau dia tidak keluar-masuk. Bagaimana caranya? Lho, dari awal kita sudah bicara tentang digital tracing, kita bisa memantau siapa bertemu dengan siapa. Kenapa itu tidak dijalankan? Itu adalah teknik karantina sebenarnya.
Jadi yang terpenting itu adalah pemerintah itu tidak boleh salah di dalam regulasi di atas kertas. Kalau implementasinya kemudian diselewengkan, menyimpang, maka law enforcement yang harus berlaku.
Ini soal bertabrakan dengan ekonomi juga, di mana soal WNA misalnya, mereka bisa menarik pendapatan bagi negara terutama untuk tempat wisata. Ini jadi dilema juga dong, buat pemerintah?
Ya, satu lagi itu (memang) tentang wisata. Tapi apakah kita harus tutup? Tidak. Tapi jangan bikin wisata kita itu kemudian menjadi murah atau murahan. Artinya, semua orang boleh masuk ke Indonesia, mau dia backpacker, toh mereka yang tidak memiliki kapital atau modalitas yang cukup besar itu juga berdampak terhadap ekonomi kita.
(Tapi) Mereka membuat transmisi di tempat kita, menyebar dengan cepat, sehingga pemerintah harus mengeluarkan begitu banyak uang untuk itu, untuk mengatasi itu. Sementara, berapa uang yang bisa dihasilkan dari mereka? Kecil sekali.
Nah itu, kalau mereka mau masuk, buatlah aturan supaya mereka itu masuk secara eksklusif. Artinya kalau memang mau masuk, memang ditata. Mereka baru bisa masuk harus dengan syarat mereka punya asuransi internasional, mereka baru bisa masuk kalau mereka bisa sewa hotel bintang 5 yang memiliki protokol kesehatan ketat selama setidaknya 2 minggu. Jadi ekonomi kita tetap berjalan di situ, sehingga selama 2 minggu sampai dengan 1 bulan itu dia masuk ke negara kita lalu dia sakit, dia bisa dikarantina di hotel tersebut dan itu menggerakkan ekonomi.
Kalau begitu kita kapitalis sekali, kenapa orang-orang miskin tidak boleh berwisata? Tidak bisa begitu (menyimpulkannya). Orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah (juga) dikasih berwisata dengan cara yang murah, tetapi diatur. Misalnya, kita punya banyak taman kota, (nah) taman kota jangan ditutup. Ini pada masa pandemi malah ditutup. Tapi mereka (masyarakat) juga diajarkan. Jangan kemudian mereka tamasya, gelar tikar buka rantang, dan itu juga menimbulkan kerumunan. Jadi itu yang harus diajarkan. Mengubah perilaku masyarakat kita itu caranya dengan seperti itu. Jangan selalu menyalahkan masyarakat kita.
Selama ini bidang-bidang perubahan perilaku, saya lihat berkali-kali kita hanya menyalahkan saja masyarakat kita. (Dikatakan) Ini naik (kasusnya) gara-gara mereka tidak patuh pada protokol kesehatan. Ngukurnya saja sudah tidak akurat. Bagaimana mereka mengukur? Mengukurnya melalui survei-survei persepsi. Ya nggak bisa mengukur perilaku itu dengan persepsi.
Kemudian yang kedua ada lagi dengan foto-foto (sebagai tolok ukur). Katanya kita sudah bicara big data, sudah bicara artificial intelligence, sudah bicara tentang apa itu machine learning. Tuh banyak sekali, apa namanya, CCTV, yang beredar di Jakarta. Pantaulah perilaku mereka itu dalam 3M di CCTV tersebut. Mau dipantau pada jam kerja, di luar jam kerja, bisa. Mau dipantau hari libur dengan hari kerja bisa. Mau dipantau dengan cara apa pun menggunakan machine learning sangat bisa sekali, termasuk juga (soal) jaga jarak dan menggunakan masker.
Tapi kalau urusan mencuci tangan, pemerintah juga harus siapkan namanya fasilitas untuk cuci tangan (terutama di tempat publik). Jangan hanya menyuruh, meminta (3M), tapi fasilitasnya tidak ada.
Hari ini kita-kita mungkin mampu untuk beli masker triple, dua lapis, yang dipakai 4 jam. Tapi coba pada masyarakat kelas bawah kita. Jangankan untuk beli masker, untuk makan saja mereka sudah susah. Jadi apa solusinya, yang harus dibuat oleh pemerintah untuk mereka. Nah itu yang harus dipikirkan.
Kembali ke soal skema PPKM Mikro hasil pemikiran epidemiolog, tapi dicaplok oleh KPC-PEN, gimana ceritanya itu Bu, kalau boleh tahu?
Jadi sejak awal kita sudah katakan, sebenarnya kalau mau membatasi itu, karantina yang paling bagus itu adalah rumah. Karena kalau rumah itu mengawasinya enak. Kalau kita mau karantina wilayah, seperti sekarang besar, PPKM itu akan sulit sekali. Kenapa? Ngawasin satu-satu orang untuk patuh terhadap protokol kesehatan dan lain-lain itu tidak gampang.
Karena itu sebenarnya, kalaupun kita mau lockdown dan katanya kita tidak bisa melakukan lockdown dalam wilayah luas, maka lockdown kita itu dilakukan secara skala mikro dengan kriteria. Apa kriterianya? Kalau sudah lebih dari setengah rumah di RT kita punya kasus konfirmasi dan kontak erat, itu kunci RT tersebut. Kunci itu benar-benar dikunci, jangan biarkan orang keluar-masuk. Jangan cuma nguncinya itu hanya pakai jam malam. Kita tidak bisa bernegosiasi dengan virus untuk mengatakan "kamu nularnya malam aja".
Tetapi (juga) ketika kita mengunci RT tersebut, maka kebutuhan warga itu dipenuhi oleh pemerintah atau dipenuhi oleh masyarakat. Artinya, (bisa) dirikan dapur umum di situ. (Tegaskan) Anda 10-14 hari ini kita kunci enggak boleh ke mana-mana. Kalau di antara Anda mengalami perburukan, langsung laporkan. Lalu dorong ke rumah sakit.
Itu jauh lebih gampang dibandingkan seperti sekarang. Semua orang menjadi carut-marut mencari pertolongan masing-masing. Yang isolasi mandiri di rumah telepon rumah sakit, rumah sakit penuh, telepon ambulans ambulans terbatas. Sehingga mereka menjadi hopeless, dan banyak kejadian perburukan di isolasi mandiri dan karantina mandiri itu. Jadi seolah-olah kita diminta untuk menyelamatkan diri kita masing-masing. Tidak secara sistematis kemudian mereka mendapatkan bantuan terhadap kebutuhan mereka.
Jadi konsep awal PPKM mikro itu begitu. Kalau lebih dari 50% atau 75% dari RT tersebut memiliki kasus konfirm kontak erat, apalagi kalau sudah 100% semua rumah punya, maka itu benar-benar (harus) disebut sebagai lockdown, tidak boleh ada yang keluar-masuk RT tersebut.
Seluruh kebutuhan hidup dasar warga ditanggung oleh desa atau kelurahan, maksud saya, pemerintah. Jadi bukan hanya pembatasan normatif saja. Kan sudah dibatasi, kan sudah pakai jam malam (bukan begitu). Saya nggak mengerti tentang apa namanya konsep jam malam di dalam transmisi ini.
Terakhir, menurut Anda apakah pandemi cukup terkendali (seperti sempat viral setelah diucapkan Menko Luhut --Red)?
Itu nggak usah dijawab lah ya. Nggak perlu dijawab... (Lagipula) Standar terkendalinya (itu entah) apa.
0 Response to "Epidemiolog Masdalina Pane Perhatikan Aturan Jangan Melulu Salahkan Rakyat"
Post a Comment